TERPASUNG
Karya : Indah
Kurniawati, S.S
Bola mata Sumi bergerak-gerak. Perlahan matanya
mulai terbuka. Pandangannya menerawang ke langit-langit kamar. Sayup-sayup
didengarnya suara keramaian di belakang rumah. Ia masih ingat, hari ini adalah
hari pernikahannya. Dan Ia juga ingat betul dengan kejadian yang baru saja
dialaminya. Tiba-tiba air mata meleleh di kedua pipi Sumi. Semula Ia berharap
semua ini adalah mimpi di siang bolong, tapi Ia harus menerima bahwa ini adalah
kenyataan hidup, alias takdir. Dan ia harus kuat dan tawakal menjalaninya.
Kejadian itu terjadi
begitu cepat. Barman, laki-laki sekaligus calon suaminya itu kini menjadi tidak
waras alias edan. Entah apa yang sempat terjadi pada diri Barman. Tidak
ada seorangpun yang tahu. Pagi-pagi buta tadi lik Parmin, pakliknya
Barman mengabarkan berita yang mengagetkan tentang keadaan calon suaminya itu.
Sumi benar-benar shock mendengar
berita itu. Seketika itu juga Sumi sudah tidak ingat apa-apa lagi Dunia
tiba-tiba berubah menjadi gelap dan kepalanya menjadi sakit sekali seperti
dihantam benda keras. Sumi limbung tak sadarkan diri. Ia pingsan.
Jelas saja berita ini bagaikan petir di siang
bolong. Bagaimana tidak, lha wong hari ini adalah hari pernikahan mereka
berdua. Bahkan dirumah Sumi sudah dipasangi tenda biru. Para tetanggapun sudah
berdatangan untuk membantu memasak. Namun berita edannya Barman
benar-benar mengagetkan semua orang. Padahal tadi malam Barman masih terlihat
segar bugar ketika sowan pada Bapaknya. Tidak ada hal aneh yang terjadi
pada dirinya.
Dalam
kamar itu Sumi melihat simbok,
Yah teman dekatnya, dan mbah Setru tukang pijat didesanya. Dirasakannya
kekuatan otot-otot tangan mbah setru mengendorkan urat-urat syaraf di kakinya
yang masih tegang. Diperhatikannya wajah simbok yang tampak nanar dan sembab
habis menangis. Ia tahu, saat ini baik simbok, Yah, dan para tetangga pasti
mengasihani nasibnya. Terlebih simbok, dia orang yang paling dekat dengannya.
Simbok pasti bisa merasakan apa yang Ia rasakan. Pandangannya kemudian berbalik
ke Yah. Yah, teman dekatnya sejak kecil. Ia yang paling tahu semua hal yang
menyangkut dirinya dan Barman, calon suaminya. Wajah Yah begitu sayu, Yah pasti
juga sedih melihat dirinya. Ingin rasanya Sumi bertanya tentang keadaan Barman
pada Yah saat ini. Yah pasti tahu informasi lebih banyak tentang keadaan calon
suaminya itu. Selama ini dialah yang sering membantu Sumi. Namun entah mengapa
Sumi merasa bibirnya terkatup rapat seakan sulit untuk digerakkan. Bahkan saat ini sepertinya simbok dan Yah
berkata sesuatu kepadanya, namun Sumi hanya bisa melihat gerakan bibir Simbok
dan Yah tanpa bisa mendengarnya. Yang terjadi justru Sumi merasakan matanya
begitu berat. Dan tak lama kemudian Sumi tertidur.
**
Masih menjadi berita
hangat dikalangan warga desa Talok tentang peristiwa yang menimpa Barman, anak
laki-laki pak Sastro. Meskipun saat ini sudah menginjak bulan ketiga sejak
peristiwa itu terjadi. Tidak ada yang tahu, sampai saat ini, Sumi gadis desa
yang hampir saja menjadi istri Barman itu
masih menyimpan duka yang teramat dalam. Diam-diam
gadis itu masih mencintai Barman. Ia masih berharap Barman akan segera sembuh
dan menikahinya. Ia tidak peduli dengan omongan orang tentang keadaan Barman
saat ini. Setiap hari Sumi rajin mengunjungi laki-laki tidak waras itu.
Disebuah kamar yang
pengap, gelap, berukuran 2 x 3 meter dan tanpa ventilasi sedikitpun, disitulah
Barman kini berada. Kedua kakinya dirantai. Sesekali Ia terlihat berbicara
tidak jelas. Bahkan menangis dan tertawa sendiri. Di ruangan sempit itulah kini
Barman melalui hari-harinya. Hal ini dilakukan oleh orangtua Barman demi
kebaikan Barman sendiri. Menurut kepercayaan orang-orang terdahulu didesanya,
ini adalah cara paling cepat untuk menyembuhkan Barman, dengan jalan
memasungnya. Entahlah, baik Sumi ataupun orang-orang desa tidak tahu apakah itu
benar. Masyarakat didesanya hanya melakukan apa yang telah menjadi kebiasaan
nenek moyang mereka terdahulu.
Sumi memandangi
kekasihnya itu dari luar. Barman seakan tahu kehadiran dirinya. Ia
meraung-raung minta dilepaskan rantainya. Sesaat kemudian Barman tertawa
cekikikan. Sumi trenyuh melihatnya. Ia benar-benar tidak percaya
meskipun sudah melihat berkali-kali. Sebuah air mata mulai menggantung
dikelopak mata Sumi. Cepat-cepat dihapusnya. Ia tidak ingin Pak Sastro, ayah
Barman tahu. Laki-laki tua itu tidak boleh melihat kesedihannya. Semua itu
hanya akan membuka luka lama pada diri Pak Sastro.
Selama ini hanya Sumi dan Pak Sastrolah yang sering
mengunjungi Barman. Bu Sastro sendiri sejak peristiwa mengagetkan itu jatuh
sakit dan menjadi lumpuh. Sumi sendiri tidak pernah bercerita pada simboknya.
Simbok selalu menasehatinya agar tidak mendatangi tempat itu. Namun Ia tidak
kuasa menahan keinginan untuk selalu pergi. Seperti ada kekuatan lain pada
dirinya yang begitu kuat mendorong. Dan anehnya setiap kali matanya beradu
dengan Barman, Sumi seperti merasakan sesuatu pada diri Barman. Sesuatu itu
terpancar dari mata Barman. Sumi tahu ada suatu hal yang ingin disampaikan
Barman pada dirinya. Tapi sepertinya Barman terlalu sulit mengungkapkannya,
karena dunia mereka kini sudah berbeda. Sumi hanya menceritakan kejadian ini
pada Yah, teman dekatnya.
“Mungkin kang Barman ingin mengatakan sesuatu sama kamu,
Sum!”ucap Yah ketika Sumi bercerita tentang kejadian aneh itu.
“Tapi sesuatu itu apa? Aku jadi bingung dan penasaran”
Yah hanya menggeleng pelan mendengar pertanyaan Sumi. Kening Yah
berkerut. Sepertinya ia memikirkan sesuatu.
“Tapi aku yakin, ada sesuatu hal yang penting yang ingin disampaikan
kang Barman padaku!” ucap Sumi mantap.
“Mungkin…”Yah hanya mengangguk pelan seraya tersenyum.
**
Entah darimana asal berita itu.
Bagaikan wabah penyakit, berita itu dengan cepat menyebar keseluruh telinga
warga desa Talok. Dan Sumi, justru orang terakhir yang mengetahuinya itupun
tanpa sengaja ketika Ia berangkat ke pasar pagi tadi dan melewati ibu-ibu yang
sedang bergunjing di warung.
Sebuah berita yang
terdengar sensasional. Yaitu berita tentang pernikahannya dengan Lik
Parmin minggu depan. Darimana sumber berita itu? Kenapa ada orang yang tega
berbuat seperti itu pada dirinya? Apakah simbok dan Bapak juga sudah tahu?
Tapi, yang membuat Sumi tidak habis pikir, kenapa Simbok dan Bapak tidak
pernah membicarakan hal ini?Bukankah selama ini baik simbok maupun Bapak
selalu bersikap terbuka pada anak-anaknya?Berbagai pertanyaan yang muncul
dikepala Sumi membuat hatinya berkecamuk.
**
Sumi masih
tertunduk diam menunggu Bapaknya bicara. Suasana malam itu begitu lengang.
Sesekali terdengar suara jengkrik dari luar. Lampu teplok yang menerangi
ruangan kecil itu seakan ikut menjadi saksi pembicaraan mereka. Simbok yang duduk tak jauh darinya sesekali
terdengar mendesah pelan. Baik simbok dan dirinya saat ini hanya bisa
menunggu sampai Bapaknya berbicara. Suara batuk-batuk kecil sesekali terdengar
dari mulut Bapaknya yang merokok. Bau rokok yang menyeruak di ruangan itu
semakin menambah pengap. Sesaat dilihatnya Bapaknya yang berdiri. Terlihat
sekali kegelisahan di wajah laki-laki tua itu. Gurat-gurat ketuaan mulai tampak
pada kulitnya yang berwarna hitam terkena sengatan matahari. Laki-laki tua itu
sudah bertahun-tahun bergelut dengan kerasnya hidup. Semua Ia lakukan hanya
untuk mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Sebagai anak pertama di
keluarga ini, Sumi merasa belum bisa memberikan apa-apa sebagai tanda bakti.
Namun, rencana pernikahannya dengan Lik Parmin sungguh sangat diluar dugaan.
Lik Parmin, seorang juragan buah sekaligus orang terkaya didesanya. Ia memiliki
istri banyak. Ia juga dikenal sebagai seorang renternir. Entah apa yang membuat
bapaknya menyetujui rencana tersebut. Sumi tahu, pasti ada hal mendesak yang
membuat bapaknya berbuat seperti itu. Ia yakin, bapaknya tidak akan setega itu
terhadap dirinya, terlebih setelah peristiwa buruk menimpanya. Tapi apapun
keputusan bapaknya, Sumi akan menerima. Mungkin ini sudah menjadi garis
hidupnya. Meskipun dalam hati Sumi berharap ini tidak akan pernah terjadi.
Laki-laki tua itu mematikan rokoknya kemudian duduk. Ia
mendehem sebentar seraya mengumpulkan kekuatan untuk mulai berbicara. Hal itu
sempat membuat Sumi dan Simboknya kaget.
“Nduk…,tentunya kamu sudah
tahu maksud Bapak mengajakmu berbicara saat ini…”
Sumi terdiam, memasang telinganya lebar-lebar. Laki-laki itu
terlihat mengambil nafas sebentar.
“Bapak dan simbok bermaksud…menikahkan kamu sama Parmin…,minggu
depan…!”
Sumi menelan ludah. Ia masih tertunduk diam.
Bapaknya mendesah pelan. Simbok mengelus pundak Sumi.
“Bapak minta maaf…..,bapak yang salah, punya hutang banyak pada
Parmin. Kamu tentu masih ingat, persiapan pernikahanmu dengan Barman waktu itu
memerlukan banyak uang, dan Bapak meminjamnya dari Parmin. Bapak tidak
menyalahkanmu meskipun kamu tidak jadi menikah, hanya saja hutang itu harus
tetap dibayar….sedangkan sudah lama panen kita tidak memuaskan…”
Sumi masih diam,
mendengarkan. Hanya sesekali Ia terlihat membetulkan tempat duduknya.
“Bapak tidak ingin mengorbankan kamu hanya untuk membayar hutang.
Hanya saja Parmin berniat ingin menikahimu.. Bapak masih bisa menjual sawah
kita kalau kamu tidak mau menikah dengan Parmin!”
Bapak mengakhiri pembicaraannya sembari meneguk kopi. Sumi bingung, hatinya berkecamuk.
Simbok mengelus-elus rambut Sumi.
Setelah mengumpulkan kekuatan pada dirinya Sumi mulai angkat bicara.
“Sumi tidak menyalahkan Bapak dan Simbok. Bapak tidak usah merasa
mengorbankan Sumi. Sumi bisa mengerti apa yang Bapak dan Simbok hadapi saat
ini. Kalau ini memang sudah menjadi keputusan Bapak dan Simbok, InyaAllah Sumi
ikhlas menerimanya. Kalau lik Parmin memang jodoh yang diberikan gusti Allah
pada Sumi, Sumi tidak bisa menolaknya. Bapak dan Simbok tidak usah khawatir,
InsyaAllah Sumi siap menikah dengan lik Parmin”.
Entah darimana datangnya keberanian itu, namun yang ada dalam hati
Sumi saat ini hanyalah ingin membahagiakan kedua orangtuanya. Meskipun Ia tahu
baik Bapak atau Simbok juga tidak ingin Sumi menikahi Parmin, laki-laki tua
banyak istri itu. Tapi paling tidak hanya dengan cara inilah Ia bisa
menyelamatkan keluarganya. Kalau sawah itu dijual, itu sama saja menghilangkan
satu-satunya mata pencaharian Bapaknya. Sumi tidak ingin itu terjadi.
Malam ini usai
sembahyang Isya’ Sumi merebahkan diri di tempat tidur. Matanya menerawang jauh
menembus langit-langit kamar. Besok adalah babak baru dalam kehidupan Sumi
karena Lik Parmin akan datang untuk melamarnya. Setitik air menetes di pipi
Sumi, “ kang Barman……maafkan aku………”.
**
Masih lekat dalam
ingatan Yah tentang bayang-bayang masa lalu Sumi. Entah kenapa sudah beberapa
hari terakhir ini Ia seakan diingatkan kembali dengan bayang-bayang yang sudah
lama Ia kubur dan tidak ingin diingatnya lagi. Terlalu pahit. Dan Ia selalu
merasa bersalah tiap kali ingatan masa lalu itu datang. Entah kenapa Sumi,
temannya sejak kecil itu harus mengalami penderitaan yang begitu berat.
Kini Sumi tak ubahnya seperti sebuah boneka. Pikirannya kosong dan
lebih banyak melamun. Semua ini karena ingatannya terganggu. Dan jika Sumi
tiba-tiba teringat dengan masa lalunya Ia pasti akan berteriak-teriak tidak
karuan sambil melompat-lompat dan berlari kesana kemari. Terkadang Ia akan
menjambak rambutnya sendiri. Ia baru berhenti ketika dua orang laki-laki
berbaju putih datang dengan seorang wanita yang membawa suntikan. Sesaat
kemudian Ia akan kembali tenang dan tertidur. Dalam tidurnya Sumi merasa damai,
meskipun Ia masih sering bermimpi buruk. Menurut dokter yang merawatnya mimpi
buruk itu adalah bagian dari masa lalunya. Sumi sepertinya benci hal itu. Ia
ingin masa lalunya musnah. Terkadang Ia melampiaskannya dengan sedikit
menggores lengan tangannya memakai silet yang Ia curi dari kantong seorang
suster ketika menempelkan perban di keningnya beberapa hari yang lalu.
Entahlah, Ia bahagia melakukan hal itu, karena dengan berbuat seperti itu Ia
tidak akan ingat lagi dengan wajah-wajah dalam mimpi buruknya. Atau dengan cara
membenturkan kepalanya ke dinding seperti waktu lalu.
Yah memang
satu-satunya orang yang paling rajin mengunjungi Sumi. Selain dirinya Sumi
sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Saat Yah berkunjung, Ia akan menatap Sumi
lekat-lekat dari luar. Terkadang Ia melemparkan senyum dan memberi Sumi sebuah
permen. Sumi akan berlari girang seperti anak kecil setelah menerima permen
itu. Dan beberapa saat kemudian Sumi akan asyik dengan dunianya. Setelah
itu Yah akan pergi meninggalkan Sumi
sendirian. Ia akan duduk seraya memperhatikan Sumi dari kejauhan yang sedang
bermain dengan ditemani seorang suster.
Sesaat Ia teringat dengan peristiwa yang membuat Sumi
menjadi seperti sekarang ini. Sejak pernikahannya dengan Parmin, keluarga
Barman menghilang dari desa. Sumi baru tahu bahwa yang menyebabkan Barman gila
waktu itu adalah Lik Parmin alias suaminya sendiri yang meminta bantuan pada
seorang dukun. Hal itu dilakukan karena semata-mata Parmin ingin memiliki Sumi
seperti halnya ia menikahi semua perempuan yang ada di desanya. Sejak saat itu
Sumi menderita luka batin yang cukup berat. Bukan karena Parmin banyak istri,
tapi Parmin adalah sosok laki-laki yang kasar dan kejam. Setiap hari Sumi harus
siap menerima pukulan dari suaminya itu. Peristiwa itu terdenganr oleh simboknya yang sakit-sakitan. Selang satu
bulan pernikahan Sumi, simboknya meninggal dunia. Sejak saat itu, Bapak Sumi
yang terupukul dengan kepergian istrinya menjadi stress dan nekat gantung diri.
Dan yang lebih menyakitkan lagi dua orang adik perempuan Sumi diperkosa oleh
Parmin yang sedang mabuk pada suatu malam. Derita yang harus ditanggung Sumi
memang begitu berat hingga ia nekat membunuh Parmin. Sumi memang sudah gila dan
kegilaannya itu dikarenakan oleh apa yang telah dialaminya. Tak ada seorangpun
yang berhak menyalahkannya. Dan sebagai seorang sahabat, ia berusaha bertindak
cepat untuk melarikan Sumi ke rumah sakit jiwa setelah pihak kepolisian
memvonis Sumi gila. Ia tidak ingin Sumi dipasung seperti halnya Barman waktu
itu. Hanya itu yang bisa Ia perbuat untuk Sumi setelah sekian lama Ia berdiam
diri menyaksikan apa yang dialami sahabatnya itu tanpa bisa berbuat apa-apa.
Sesaat air mata Yah menetes. Sebuah bola menggelinding tepat di kakinya. Ia
tersadar dari lamunan. Ia melihat Sumi tertunduk lesu seraya memainkan sebuah
boneka usang. Yah bangkit dari duduknya dan mendekati Sumi. Sumi bersikap acuh
tak acuh. Ia mengelus rambut Sumi seraya tersenyum kemudian melangkah pergi.
Setelah wanita itu pergi tiba-tiba Sumi menoleh dan menatap kepergiannya.
“Terimakasih, Yah…..”ucap Sumi lirih.
Sumi terharu, ia mainkan lagi boneka usang itu sampai akhirnya
seorang suster menuntunnya ke sebuah kamar berjeruji dengan cat dan seprei
berwarna putih, tempat tinggalnya sekarang, entah sampai kapan……..
Solo,
3 agustus 2004